kimia organik 2
Senin, 08 Juli 2013
Rabu, 03 April 2013
Laporan SPECTRONIC-20
Alat
spectronic 20 ini mempunyai rentang panjang gelombang dari 340 nm
sampai 600 nm. Larutan yang berwarna dalam tabung reaksi khusus dimasukkan ke
tempat cuplikan dan absorbansi atau persen transmittan dapat dibaca pada skala
pembacaan.
Sistem optic
dari alat ini dapat digambarkan sebagai berikut :
Sumber cahaya
berupa lampu tungsten akan memancarkan sinar polikhromatik. Setelah melewati
pengatur panjang gelombang, hanya sinar yang monokhromatik dilewatkan ke
larutan dan sinar yang melewati larutan dideteksi oleh fotodetektor.
Penggunaan
Spectronic 20 :
- Nyalakan alat spectronic 20 dengan tombol 1 (gambar 1.1) bila aliran listrik sudah dihubungkan dengan arus AC 220V. Nyala merah dari lampu indicator (3) menandakan adanya arus yang mengalir. Biarkan kurang lebih 15 menit untuk memanaskan alat.
- Pilih panjang gelombang yang akan dipakai dengan cara memutar pengatur panjang gelombang (4)
- Atur meter ke pembacaan 0% T dengan memutar tombol (1)
- Masukkan larutan blanko (biasanya aquadest) dalam tabung khusus ke tempat cuplikan (2)
- Atur meter ke pembacaan 100% T dengan memutar tombol (5)
- Ganti larutan blanko dengan larutan cuplikan dan baca absorbansi atau persen transmittan yang ditunjukkan oleh jarum pada pembacaan A/T (6)
- Kalau sudah selesai pengukuran padamkan alat dengan menggunakan tombol (1)
SUMBER/REFERENSI
https://www.google.com/search?q=spectronic-20&hl=en&client=firefox&hs=5QB&rls=org.mozilla:en-US:official&tbm=isch&tbo=u&source=univ&sa=X&ei=zJZcUbLFNYzLrQey5YHICQ&ved=0CDEQsAQ&biw=1366&bih=560
http://en.wikipedia.org/wiki/Spectronic_20
SPEKTROFOTOMETER UV-VIS
Pengertian Dasar Spektrofotometer Vis, UV, UV-Vis)
Hubungan antara absorbansi terhadap konsentrasi akan linear (A≈C) apabila nilai absorbansi larutan antara 0,2-0,8 (0,2 ≤ A ≥ 0,8) atau sering disebut sebagai daerah berlaku hukum Lambert-Beer. Jika absorbansi yang diperoleh lebih besar maka hubungan absorbansi tidak linear lagi. Kurva kalibarasi hubungan antara absorbansi versus konsentrasi dapat dilihat pada Gambar.
Gambar Kurva hubungan absorbansi vs konsentrasi
Faktor-faktor yang menyebabkan absorbansi vs konsentrasi tidak linear:
1. Adanya serapan oleh pelarut. Hal ini dapat diatasi dengan penggunaan blangko, yaitu larutan yang berisi selain komponen yang akan dianalisis termasuk zat pembentuk warna.
2. Serapan oleh kuvet. Kuvet yang ada biasanya dari bahan gelas atau kuarsa, namun kuvet dari kuarsa memiliki kualitas yang lebih baik.
3. Kesalahan fotometrik normal pada pengukuran dengan absorbansi sangat rendah atau sangat tinggi, hal ini dapat diatur dengan pengaturan konsentrasi, sesuai dengan kisaran sensitivitas dari alat yang digunakan (melalui pengenceran atau pemekatan).
Zat yang dapat dianalisis menggunakan spektrofotometri sinar tampak adalah zat dalam bentuk larutan dan zat tersebut harus tampak berwarna, sehingga analisis yang didasarkan pada pembentukan larutan berwarna disebut juga metode kolorimetri.
Jika tidak berwarna maka larutan tersebut harus dijadikan berwarna dengan cara memberi reagen tertentu yang spesifik. Dikatakan spesifik karena hanya bereaksi dengan spesi yang akan dianalisis. Reagen ini disebut reagen pembentuk warna (chromogenik reagent). Berikut adalah sifat-sifat yang harus dimiliki oleh reagen pembentuk warna:
1. Kestabilan dalam larutan. Pereaksi-pereaksi yang berubah sifatnya dalam waktu beberapa jam, dapat menyebabkan timbulnya semacam cendawan bila disimpan. Oleh sebab itu harus dibuat baru dan kurva kalibarasi yang baru harus dibuat saat setiap kali analisis.
2. Pembentukan warna yang dianalisis harus cepat.
3. Reaksi dengan komponen yang dianalisa harus berlangsung secara stoikiometrik.
4. Pereaksi tidak boleh menyerap cahaya dalam spektrum dimana dilakukan pengukuran.
5. Pereaksi harus selektif dan spesifik (khas) untuk komponen yang dianalisa, sehingga warna yang terjadi benar-benar merupakan ukuran bagi komponen tersebut saja.
6. Tidak boleh ada gangguan-gangguan dari komponen-komponen lain dalam larutan yang dapat mengubah zat pereaksi atau komponen komponen yang dianalisa menjadi suatu bentuk atau kompleks yang tidak berwarna, sehingga pembentukan warna yang dikehandaki tidak sempurna.
7. Pereaksi yang dipakai harus dapat menimbulkan hasil reaksi berwarna yang dikehendaki dengan komponen yang dianalisa, dalam pelarut yang dipakai.
Setelah ditambahkan reagen atau zat pembentuk warna maka larutan tersebut harus memiliki lima sifat di bawah ini:
1. Kestabilan warna yang cukup lama guna memungkinkan pengukuran absorbansi dengan teliti. Ketidakstabilan, yang mengakibatkan menyusutnya warna larutan (fading), disebabkan oleh oksidasi oleh udara, penguraian secara fotokimia, pengaruh keasaman, suhu dan jenis pelarut. Namun kadang-kadang dengan mengubah kondisi larutan dapat diperoleh kestabilan yang lebih baik.
2. Warna larutan yang akan diukur harus mempunyai intensitas yang cukup tinggi (warna harus cukup tua) yang berarti bahwa absortivitas molarnya (ε) besar. Hal ini dapat dikontrol dengan mengubah pelarutnya. Dalam hal ini dengan memilih pereaksi yang memiliki kepekaan yang cukup tinggi.
3. Warna larutan yang diukur sebaiknya bebas daripada pengaruh variasi-variasi kecil kecil dalam nilai pH, suhu maupun kondisis-kondisi yang lain.
4. Hasil reaksi yang berwarna ini harus larut dalam pelarut yang dipakai.
5. Sistem yang berwarna ini harus memenuhi Hukum Lambert-Beer.
Menentukan konsentrasi sampel dengan cara kurva kalibrasi
Konsentrasi sampel dalam suatu larutan dapat ditentukan dengan rumus yang diturunkan dari hukum lambert beer (A= a . b . c atau A = ε . b . c). Namun ada cara lain yang dapat digunakan untuk menentukan konsentrasi suatu spesi yang ada dalam suatu larutan yakni dengan cara kurva kalibarasi. Cara ini sebenarnya masih tetap bertumpu pada hukum Lambert-Beer yakni absorbansi berbanding lurus dengan konsentrasi.
Langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam penentuan konsentrasi zat dengan kurva kalibarasi:
1. Maching kuvet : mencari dua buah kuvet yang memiliki absorbansi atau transmitansi sama atau hampir sama. Dua buah kuvet inilah yang akan digunakan untuk analisis, satu untuk blanko, satu untuk sampel. Dalam melakukan analisis Maching kuvet harus dilakukan agar kesalahannya makin kecil.
2. Membuat larutan standar pada berbagai konsentrasi. Larutan standar yaitu larutan yang konsentrasinya telah diketahui secara pasti. Konsentrasi larutan standar dibuat dari yang lebih kecil sampai lebih besar dari konsentrasi analit yang diperkirakan.
3. Ambilah salah satu larutan standar, kemudian ukur pada berbagai panjang gelombang. Hal ini dilakukan untuk mengetahui pada panjang gelombang berapa, absorbansi yang dihasilkan paling besar. Panjang gelombang yang menghasilkan absorbansi paling besar atau paling tinggi disebut panjang gelombang maksimum (lmaks).
4. Ukurlah absorbansi semua larutan standar yang telah dibuat pada panjang gelombang maksimum.
5. Catat absorbansi yang dihasilkan dari semua larutan standar, kemudian alurkan pada grafik absorbansi vs konsentrasi sehingga diperoleh suatu kurva yang disebut kurva kalibarasi. Dari hukum Lambart-Beer jika absorbansi yang dihasilkan berkisar antara 0,2-0,8 maka grafik akan berbentuk garis lurus, namun hal ini tidak dapat dipastikan.
Absorbansi | 0,2 | 0,3 | 0,4 | 0,5 | 0,6 | 0,7 | 0,8 | 0,9 |
konsentrasi | 2 ppm | 4 ppm | 6 ppm | 8 ppm | 10 ppm | 12 ppm | 14 ppm | 16 ppm |
|
|
6. Ukurlah absorbansi larutan yang belum diketahui konsentrasinya. Setelah diperoleh absorbansinya, masukan nilai tersebut pada grafik yang diperoleh pada langkah 5. Misalkan absorbansi yang diperoleh 0,6. Maka jika ditarik garis lurus konsentrasi sampel akan sama dengan konsentrasi larutan standar 10 ppm. Maka grafiknya sebagai berikut:
Selain dengan cara diatas konsentrasi sampel dapat dihitung dengan persamaan regresi linear:
persamaan di atas dapat dihitung dengan bantuan kalkulator. Setelah diperoleh persamaan di atas, absorbansi sampel yang diperoleh dimasukan sebagai nila y sehingga diperoleh nila x. Nilai x yang diperoleh merupakan konsentrasi sampel yang dianalisis.
Jumat, 28 Desember 2012
UJIAN SEMESTER KIMIA BAHAN ALAM
UJIAN AKHIR SEMESTER KIMIA BAHAN ALAM
NAMA : BINTARA MARIO SIAGIAN
NIM : RRA1C110003
MATA KULIAH : KIMIA BAHAN ALAM
SKS : 2
DOSEN : Dr. Syamsurizal, M.Si
WAKTU : 22-29 Desember 2012
PETUNJUK : Ujian ini open book. Tapi tidak diizinkan mencontek, bilamana ditemukan, maka anda dinyatakan GAGAL. Jawaban anda diposting di bolg masing-masing.
1. Jelaskan dalam jalur biosintesis triterpenoid, identifikasilah faktor-faktor penting yang sangat menentukan dihasilkannya triterpenoid dalam kuantitas yang banyak.
2. Jelaskan dalam penentuan struktur flavonoid, kekhasan signal dan intensitas serapan dengan menggunakan spektrum IR dan NMR. Berikan dengan contoh sekurang-kurangnya dua struktur yang berbeda.
3. Dalam isolasi alkaloid, pada tahap awal dibutuhkan kondisi asam atau basa. Jelaskan dasar penggunaan reagen tersebut, dan berikan contohnya sekurang-kurangnya tiga macam alkaloid.
4. Jelaskan keterkaitan diantara biosintesis, metode isolasi dan penentuan struktur senyawa bahan alam Berikan contohnya.
JAWABAN
1. Sintesa Terpenoid
Secara umum biosintesa terpenoid terjadinya 3 reaksi dasar, yaitu:
1. Pembentukan isoprena aktif berasal dari asam asetat melalui asam mevalonat.
2. Penggabungan kepala dan ekor unit isoprene akan membentuk mono-, seskui-, di-, sester-, dan poli-terpenoid.
3. Penggabungan ekor dan ekor dari unit C-15 atau C-20 menghasilkan triterpenoid dan steroid.
Asam asetat setelah diaktifkan oleh koenzim A melakukan kondensasi jenis Claisen menghasilkan asam asetoasetat. Senyawa yang dihasilkan ini dengan asetil koenzim A melakukan kondensasi jenis aldol menghasilkan rantai karbon bercabang sebagaimana ditemukan pada asam mevanolat. Reaksi-reaksi berikutnya ialah fosforilasi, eliminasi asam fosfat dan dekarboksilasi menghasilkan IPP yang selanjutnya berisomerisasi menjadi DMAPP oleh enzim isomerase. IPP sebagai unit isopren aktif bergabung secara kepada ke-ekor dengan DMAPP dan penggabungan ini merupakan langkah pertama dari polimerisasi isopren untuk menghasilkan terpenoid. Penggabungan ini terjadi karena serangan elektron dari ikatan rangkap IPP terhadap atom karbon dari DMAPP yang kekurangan elektron diikuti oleh penyingkiran ison pirofosfat. Serangan ini menghasilkan geranil pirofosfat (GPP) yakni senyawa antara bagi semua senyawa monoterpen.
Penggabungan selanjutnya antara satu unit IPP dan GPP, dengan mekanisme yang sama seperti antara IPP dan DMAPP, menghasilkan farnesil pirofosfat (FPP) yang merupakan senyawa antara bagi semua senyawa seskuiterpen. Senyawa-senyawa diterpen diturunkan dari geranil-geranil pirofosfat (GGPP) yang berasal dari kondensasi antara atau satu unit IPP dan GPP dengan mekanisme yang sama pula.
Bila reaksi organik sebagaimana tercantum. Ditelaah lebih mendalam, ternyata bahwa sintesa terpenoid oleh organisme adalah sangat sederhan a sifatnya. Ditinjau dari segi teori reaksi organik sintesa ini hanya menggunakan beberapa jenis reaksi dasar. Reaksi-reaksi selanjutnya dari senyawa antara GPP, FPP dan GGPP untuk menghasilkan senyawa-senyawa terpenoid satu persatu hanya melibatkan beberapa jenis reaksi sekunder pula. Reaksi-reaksi sekunder ini lazimnya ialah hidrolisa, siklisasi, oksidasi, reduksi dan reaksi-reaksi spontan yang dapat berlangsung dengan mudah dalam suasana netral dan pada suhu kamar, seperti isomerisasi, dehidrasi, dekarboksilasi dan sebagainya.
Dari persamaan reaksi di atas terlihat bahwa pembentukan senyawa-senyawa monoterpen dan senyawa terpenoida berasal dari penggabungan 3,3 dimetil allil pirofosfat dengan isopentenil pirofosfat.
Secara umum terpenoid terdiri dari unsur-unsur C dan H dengan rumus molekul umum (C5H8)n.
Klasifikasi biasanya tergantung pada nilai n.
Nama | Rumus | Sumber |
Monoterpen | C10H16 | Minyak Atsiri |
Seskuiterpen | C15H24 | Minyak Atsiri |
Diterpen | C20H32 | Resin Pinus |
Triterpen | C30H48 | Saponin, Damar |
Tetraterpen | C40H64 | Pigmen, Karoten |
Politerpen | (C5H8)n n 8 | Karet Alam |
Dari rumus di atas sebagian besar terpenoid mengandung atom karbon yang jumlahnya merupakan kelipatan lima. Penyelidikan selanjutnya menunjukan pula bahwa sebagian besar terpenoid mempunyai kerangka karbon yang dibangun oleh dua atau lebih unit C5 yang disebut unit isopren. Unit C5 ini dinamakan demikian karena kerangka karbonnya seperti senyawa isopren. Wallach (1887) mengatakan bahwa struktur rangka terpenoid dibangun oleh dua atau lebih molekul isopren. Pendapat ini dikenal dengan “hukum isopren”.
2. BAHAN DAN METODA
Daun C. anagyroides diperoleh dari Bogor. Tanaman dideterminasi di Herbarium Bogoriense. Semua bahan kimia yang digunakan berkualitas pro analisis diperoleh dari Wako (Jepang).
Alat : Spektrum UV dibuat dengan Shimadzu UV-365 spektrofotometer.
Spektrum 1H (400 MHz) dan 13C NMR (100 MHz) diperoleh dengan JEOL α400 dalam DMSO-d6 dengan internal standar TMS. KCKT semipreparatif dilakukan dengan Gaskuro Kogyo model 576 dilengkapi dengan detektor Uvidex 100-II (kolom: TSK gel ODS-80Ts, 250 x 10 mm, eluen 40% DMF dengan laju alir 1,6 ml/ menit). KCKT analitik dilakukan dengan Tosoh CCPS dilengkapi dengan detektor Tosoh UV-8020 (kolom: TSK gel ODS-80TS, 250 x 4,6 mm, eluen 35% DMF dengan laju alir 0,6 ml/menit).
Metoda:
Ekstraksi dan Isolasi Daun tanaman dikeringkan dengan cara diangin-anginkan dan
terhindar dari cahaya matahari langsung. Setelah kering kemudian diserbuk. Sejumlah(3 kg) serbuk direfluks dengan MeOH 50%. Ekstrak yang diperoleh dipekatkan dengan rotary vacuum evaporator. Residu yang diperoleh dicuci dengan kloroform berkali-kali, untuk menghilangkan klorofil. Hasil ekstraksi dikeringkan dengan freeze dryer. Ekstrak (3 g) yang diperoleh kemudian difraksinasi dengan kolom Sephadex LH-20 (45 (7 cm) menggunakan eluen dimetil formamida (DMF) 50%. Hasil fraksinasi dimonitor serapannya dengan spektrofotometer UV pada panjang gelombang 350 nm, diperoleh 4 fraksi. Fraksi 3 (269 mg) dan 4 (1,5 g) dipisahkan lebih lanjut dengan menggunakan KCKT semipreparatif. Fraksi yang menunjukkan puncak yang sama dikumpulkan dan diuapkan dengan rotary vacuum evaporator. Cairan kental yang diperoleh dikeringkan lebih lanjut dengan freeze dryer, dan diperoleh senyawa 1 (32 mg), 2 ( 87 mg), 3 ( 44 mg) dan 4 (47 mg).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada ekstraksi daun C. anagyroides dengan MeOH 50% diperoleh larutan kental berwarna kuning kehijauan. Setalah dicuci dengan kloroform warna larutan menjadi kuning muda, karena jumlah klorofil berkurang. Kandungan klorofil rendah diharapkan tidak mengganggu proses isolasi. Fraksi 3 dan 4 dari Sephadex LH- 20 dipisahkan lebih lanjut karena memperlihatkan pola kromatogram yang sama dan mengandung flavonoid relatif tinggi dibandingkan dengan fraksi lainnya. Fraksi ini pada HPLC analisis memberikan 4 puncak besar (Gambar 1). Keempat puncak tersebut dipisahkan lebih lanjut dengan KCKT semipreparatif.
MAJALAH ILMU KEFARMASIAN
Senyawa 1- 4 berupa hablur kuning muda. Berdasarkan pergeseran panjang gelombang pada spectrum UV pada spektrofotometer menunjukkan adanya inti flavonoida. Inti flavon tersebut memiliki gugus hidroksi pada posisi C-5. Hal ini ditunjukkan adanya pergeseran batochromic pada penambahan AlCl3/ HCl, tetapi inti tersebut tidak menunjukkan adanya gugus o-dihidroksi pada cincin B, karena tidak memberikan pergeseran kimia pada penambahan NaOAc/H3BO3 (Mabry et al. 1970). Berdasarkan jumlah sinyal pada spectrum karbon NMR (Tabel 2), senyawa 1- 4 memiliki 2 gugus gula. Pada daerah magnetik rendah spektrum proton NMR senyawa 1 (Tabel 1) menunjukkan adanya 6 puncak yang berasal proton aromatis. Sinyal pada δ 7,58 (1H, d, J= 1,8 Hz), 7,61 (1H, dd, J= 1,8 dan 8,5Hz) dan 6,95 (1H, d, J= 8,5 Hz) menunjukkan tipe katekol pada cincin B (Tabel 1). Sedangkan sinyal pada δ 6,44 (1H, s) dan 6,85 (1H, s) merupakan sinyal proton yang terikat masing-masing pada C-6 dan C-8. Berdasarkan data tersebut inti flavon tersebut tersubstitusi pada C-5, C-7, C-3' dan C-4'. Sinyal pada δ 3,90 (3H, s) merupakan ciri khas dari gugus metoksi. Gugus ini berdasarkan spektrum HMBC terikat pada C-3'. Dengan demikian inti flavon tersebut adalah chrysoeriol. Spektrum proton NMR juga menunjukkan sinyal pada rentang δ 3,28- 5,31. Sinyal ini memberikan crosspeak dengan 11 sinyal karbon (δ60.2 - 121.2) pada spektrum C-H COSY. Berdasarkan spektrum 1H dan 13C NMR senyawa 1, sinyal tersebut berasal gugus gula apiosa dan glukosa.
Gambar 1. Profil kromatogram fraksi 4 ekstrak MeOH setelah fraksinasi dengan
Sephadex LH-20.
Senyawa 1- 4 berupa hablur kuning muda. Berdasarkan pergeseran panjang gelombang pada spectrumUV pada spektrofotometer menunjukkan adanya inti flavonoida. Inti flavon tersebut memiliki gugus hidroksi pada posisi C-5. Hal ini ditunjukkan adanya pergeseran batochromic pada penambahan AlCl3/HCl, tetapi inti tersebut tidak menunjukkan adanya gugus o-dihidroksi pada cincin B, karena tidak memberikan pergeseran kimia pada penambahan NaOAc/H3BO3 (Mabry et al. 1970). Berdasarkan jumlah sinyal pada spectrum karbon NMR (Tabel2), senyawa 1- 4 memiliki 2 gugus gula. Pada daerah magnetik rendah spektrum proton NMR senyawa 1 (Tabel 1) menunjukkan adanya 6 puncak yang berasal proton aromatis. Sinyal pada δ 7,58 (1H, d, J= 1,8 Hz), 7,61 (1H, dd, J= 1,8 dan 8,5Hz) dan 6,95 (1H, d, J= 8,5 Hz) menunjukkan tipe katekol pada cincin B (Tabel 1). Sedangkan sinyal pada δ 6,44 (1H, s) dan 6,85 (1H, s) merupakan sinyal proton yang terikat masing-masing pada C-6 dan C-8. Berdasarkan data tersebut inti flavon tersebut tersubstitusi pada C-5, C-7, C-3' dan C-4'. Sinyal pada δ 3,90 (3H, s) merupakan ciri khas dari gugus metoksi. Gugus ini berdasarkan spektrum HMBC terikat pada C-3'. Dengan demikian inti flavon tersebut adalah chrysoeriol. Spektrum proton NMR juga menunjukkan sinyal pada rentang δ 3,28- 5,31. Sinyal ini memberikan crosspeak dengan 11 sinyal karbon (δ60.2 - 121.2) pada spektrum C-H COSY.
Berdasarkan spektrum 1H dan 13C NMR senyawa 1, sinyal tersebut berasal gugus gula apiosa dan glukosa.
(Agrawal 1992). Berdasarkan spectrum HMBC senyawa 1, glukosa terikat pada C-7, sedangkan apiosa terikat pada C-6". Dengan demikian senyawa 1 dapat disimpulkan sebagai chrysoeriol 7-O-β-D- apiofuranosyl (1!6)-β-D-glukopiranosida (Bucar et al. 1998). Strukturnya dapat dilihat pada Gambar 2. Spektrum 1H dan 13C NMR senyawa 2 hampir sama dengan senyawa 1. Hanya terjadi pergeseran sinyal pada spectrum 13C NMR yang berasal dari C-2". Hal ini diakibatkan.
pada senyawa 2 apiosa terikat pada C-2". Hal ini diperkuat dengan spektrum HMBC senyawa 2, yang menunjukkan adanya long-range correlation antara sinyal yang berasal dari H-2" dan C-1"’. Berdasarkan hal tersebut struktur senyawa 2 dapat ditentukan sebagai chrysoeriol 7-O- β-D- apiofuranosyl(1!2)-β-D- glukopiranosida (Biswass et al. 1977). Struktur senyawa tersebut dapat dilihat pada Gambar 2. Spektrum proton NMR senyawa 3 (Tabel 1) mirip dengan spectrum senyawa 1 dan 2, hanya pada cincin B senyawa 2 menunjukkan tipikal para-hidroksi, yaitu sinyal pada δ 7,95 (2H, d, J= 8,5 Hz) dan 6,94 (2H, d, J= 8.5 Hz). Sedangkan sinyal inti flavon lainnya mirip dengan senyawa 1
Gambar 2. Struktur kimia dan korelasi HMBC yang penting dari senyawa 1, 2, 3 dan 4.
Pergeseran kimia sinyal pada spektrum 1H dan 13C NMR senyawa 3 yang berasal dari gugus gula sama dengan sinyal pada spectrum NMR senyawa 1. Hal ini juga didukung oleh spectrum H-H COSY, C-H COSY dan HMBC senyawa 3. Berdasarkan
data tersebut senyawa 3 ditentukan sebagai apigenin 7-O-β-D-apiofuranosyl (1!6)-β-glukopyranosida (Kaneko et al. 1995). Struktur senyawa tersebut dapat dilihat pada
Spektrum proton dan karbon NMR senyawa 4 hampir mirip dengan senyawa 3, hanya terdapat pergeseran sinyal pada δ 75,7 yang berasal dari C-2”’. Dengan demikian senyawa dapat disimpulkan sebagai apigenin 7-O-β-D-apiofuranosyl (1!2)-β-glukopiranosida, atau dikenal sebagai apiin. Strukturnya dapat dilihat pada Gambar 2.
Keempat senyawa tersebut sudah dilaporkan sebelumnya, tetapi belum pernah ada laporan tentang isolasi senyawa tersebut dari daun C. anagyroides.
Berdasarkan hasil tersebut di atas senyawa flavonoida yang terdapat pada daun C. anagyroides adalah: apigenin 7-O-β-D-apiofuranosil (1!6)-β-glukopiranosida, apigenin 7- O-β-D-apiofuranosil (1!2)-β-glukopiranosida, chrysoeriol 7-O-β-DGambar apiofuranosil (1! 6)-β-D-glukopiranosida dan chrysoeriol 7-O-β-Dapiofuranosil (1! 2)-β-D-glukopiranosida.
3. Pada umumnya, alakaloid diekstraksi dari tumbuhan sumbernya melalui prosedur berikut:
1) Tumbuhan (daun, bunga buah, kulit, dan/atau akar) dikeringkan lalu dihaluskan.
2) Alkaloid diekstaksikan dengan pelarut tertentu, misalnya dengan etanol, kemudian pelarutnya diuapkan.
3) Residu yang diperoleh diberi asam anorganik untuk menghasilkan garam ammonium kuartener, kemudian diekstraksikan kembali.
4) Garam N+ yang diperoleh direaksikan dengan natrium karbonat (sehingga menghasilkan alkaloid-alkaloid yang bebas) kemudian diekstraksikan dengan pelarut tertentu seperti eter kloroform atau pelarut lainnya.
5) campuran alkaloi-alkaloid yang diperoleh akhirnya di isolasi melalui berbagai cara, misalnya dengan metode kromatografi. Cara lain, misalnya dengan cara mereaksikan alkaloid dengan “larutan Reinecke”. Hasilnya adalah campuran reinekat-reinekat, dilarutkan dalam aseton dan kemudian dilewatkan melalui kolom penggantian ion (ion-exchange column). Cara ini biasanya menghasilkan alkaloid-alkaloid yang lebih murni.
Senyawa alkaloid merupakan senyawa organik alam yang strukturnya banyak terkandung atom nitrogen yang bersifat basa. Senyawa jenis ini banyak diekstraksi dari tumbuhan dan digunakan secara umum dimasyarakat.
Sifat kimia yang dimiliki alkaloid adalah sifat kebasaannya yang muncul karena adanya atom nitrogen. Sifat basa ini terjadi jika gugus fungsional yang posisinya berdekatan dengan atom nitrogen bersifat melepaskan elektron.
Elektron yang dilepaskan ini akan meningkatkan pasokan electron yang terdapat dalam atom nitrogen sehingga senyawanya menjadi lebih bersifat basa. Akan tetapi, jika gugus fungsional yang berada dekat dengan nitrogen, bersifat sebagai penarik elektron maka tingkat kebasaanya akan menurun karena berkurangnya pasokan electron.
Sifat kebasaan alkaloid ini akanb menyebabkan senyawa ini mudah terdekomposisi di udara terutama sekali dalam keadaan panas. Keberadaan sinar yang disertai dengan kandungan oksigen yang cukup juga akan mampu membuat senyawa ini terdekomposisi.
Produk hasil reaksi dekomposisi ini biasanya berupa N-oksida yang dapat menimbulkan berbagai masalah jika dibiarkan dalam waktu yang cukup lama. Oleh karena itu, untuk mencegah reaksi dekomposisi suatu alkaloid harus diubah kedalam bentuk garamnya dengan menambahkan senyawa organik maupun senyawa anorganik.
Contohnya:
1. Alkaloid LisinaSebagai homolog ornithine, lisin dan senyawa yang terkait menimbulkan sejumlah alkaloid, beberapa yang analog dengan kelompok ornithine.
- Struktur alkaloid lisina
2. Alkaloid Phenylalanine
- Struktur phenylalanine
a. Ephedrin; Ephedra sinica, E. equisetina
b. Colchicum autumnale
Kegunaan: umbi dari Colchicum autumnale berisi colchicine, obat yang bergunauntukterapeutik.
3. Alkaloid Dihydroxyphenylalanine
Dihdroksilfenilalanin atau biasa disebut dengan dopa merupakan senyawa bentukan dari tirosin.
Gambar Struktur Dihydroxyphenylalanine
Contoh simplisia dihidroksiphenylalanin :
a. Velvet bean; Mucuna pruriens (Phaseoleae); Mucuna pruriens Seed.
Kegunaan : bias digunakan olahan kecap
4. keterkaitan diantara biosintesis, metode isolasi dan penentuan struktur senyawa bahan alam yaitu:
Pembuktian struktur senyawa organic bahan alam yang telah memberi dasar pemikiran tentang tipe deret sintesis yang dilakukan oleh sintesis enzim dalam organisme. Penyelidikan terhadap hubungan antara struktur-struktur senyawa sering menyarankan bahwa suatu senyawa merupakan zat antara (intermediate) pada sintesis biogenesis dari zat yang lebih kompleks.
Yang berikut adalah satu contoh pendekatan secara eksperimen terhadap problema biogenesis. Pendapat yang beralasan dan telah lama dianut oleh para ahli mengatakan bahwa asam-asam amino adalah precursor (zat asal) dari alkaloid dalam metabolisme tumbuh-tumbuhan, telah dibuktikan melalui penelitian molekul yang mengandung isotop C, N, O atau H. Tekniknya meliputi langkah-langkah berikut:
1) sintesis dari asam amino yang molekulnya mengandung isotop pada posisi yang diketahui.
2) Metabolisme dari molekul bertanda oleh tumbuh-tumbuhan.
3) Isolasi senyawa bahan alam yang sedang diselidiki.
4) Penentuan tingkatan (level) isotop dalam alkaloid dan degradasi molekul untuk menunjukkan posisi yang tepat dari isotop penjejak (tracer).
Minggu, 23 Desember 2012
UJIAN AKHIR SEMESTER KIMIA BAHAN ALAM
UJIAN AKHIR SEMESTER KIMIA BAHAN ALAM
NAMA : BINTARA MARIO SIAGIAN
NIM : RRA1C110003
MATA KULIAH : KIMIA BAHAN ALAM
SKS : 2
DOSEN : Dr. Syamsurizal, M.Si
WAKTU : 22-29 Desember 2012
PETUNJUK : Ujian ini open book. Tapi tidak diizinkan mencontek, bilamana ditemukan, maka anda dinyatakan GAGAL. Jawaban anda diposting di bolg masing-masing.
1. Jelaskan dalam jalur biosintesis triterpenoid, identifikasilah faktor-faktor penting yang sangat menentukan dihasilkannya triterpenoid dalam kuantitas yang banyak.
2. Jelaskan dalam penentuan struktur flavonoid, kekhasan signal dan intensitas serapan dengan menggunakan spektrum IR dan NMR. Berikan dengan contoh sekurang-kurangnya dua struktur yang berbeda.
3. Dalam isolasi alkaloid, pada tahap awal dibutuhkan kondisi asam atau basa. Jelaskan dasar penggunaan reagen tersebut, dan berikan contohnya sekurang-kurangnya tiga macam alkaloid.
4. Jelaskan keterkaitan diantara biosintesis, metode isolasi dan penentuan struktur senyawa bahan alam Berikan contohnya.
Langganan:
Postingan (Atom)